Rabu, 27 Februari 2008

ANGKA RAWAN TIDAK LULUS 25 %

MALANG - Diknas Kabupaten Malang meminta guru SD hingga SMA untuk lebih intensif dalam memberikan materi UN bidang studi IPA dan matematika. Kedua mata pelajaran tersebut menjadi prioritas, karena dari hasil try out pertama yang digelar Januari lalu banyak siswa tidak bisa mengerjakan soal. "Secara umum hasil dari try out kurang memuaskan. Rata-rata kelulusannya baru 75 persen," ujar Kepala Dikbud Kabupaten Malang Suwandi, ketika dikonfirmasi kemarin.

Suwandi mengatakan, angka kelulusan sebesar 75 persen dari try out pertama dinilai masih wajar. Karena soal yang diberikan kepada siswa terbilang rumit. Mayoritas soal yang diberikan sama dengan UN tahun lalu. "Hal itulah yang membuat siswa kesulitan dalam menjawab soal yang diberikan," terangnya.

Meski demikian, dengan hasil tersebut diknas khawatir apabila tidak ada persiapan yang matang sebelum pelaksanaan UN, maka angka kelulusan yang diraih pada 2007 lalu sebesar 95 persen akan mengalami penurunan. Padahal tahun ini diknas mematok angka kelulusan naik 2 persen atau menjadi 97 persen.

Selain pemberian materi UN untuk matematika dan IPA, Suwandi mengharapkan sekolah lebih sering melakukan try out. Langkah ini diperlukan agar para siswa terbiasa untuk belajar soal. "Minimal per sekolah melakukan try out empat kali," pintanya.

Terkait hasil mata pelajaran bahasa Inggris, Suwandi mengatakan bahwa rata-rata siswa sudah bisa mengerjakan. Namun demikian, guru bahasa Inggris juga harus tetap memberikan porsi materi yang setara dengan soal-soal yang akan keluar dalam UN nanti. Minimal sesuai dengan materi UN tahun lalu. "Kami yakin jika siswa mampu mengerjakan soal UN tahun lalu, target kelulusan 97 dapat terpenuhi," tegasnya. (gus/ziz)

Senin, 25 Februari 2008

WASPADAI JUALAN KOMPOR

MALANG - Munculnya keberatan soal aturan 24 jam tatap muka dalam satu minggu bagi guru yang lulus sertifikasi mengundang keprihatinan DPKM (Dewan Pendidikan Kota Malang). Bagaimanapun guru tidak bisa dibiarkan tanpa aturan, karena bisa mengganggu pengembangan pendidikan. Bukan hanya Kota Malang, namun juga secara keseluruhan.

"Dengan penyelenggaraan sertifikasi, guru memang sedang bersekutu dengan dewa mabuk reformasi. Guru pun terjebak dalam iklim reformasi. Artinya, dalam skala tertentu guru seakan mendapatkan kebebasan," ungkap Drs Soeparto MPd, sekretaris I DPKM.

Kondisi ini, kata Parto -demikian dia disapa- tidak bisa dibiarkan. Aksi keberatan yang mereka sampaikan perlu kembali direnungkan lagi. Sebab, aturan mengajar 24 jam tatap muka dalam satu minggu sudah cukup relevan untuk dijalankan. Terlebih lagi aturan tersebut berlaku pada mereka yang notabenenya sudah memegang sertifikat kompetensi.

Memahami pro kontra ini, Parto mengingatkan pentingnya melihat profesi guru yang dikembalikan pada khittahnya. Garis besarnya, guru bekerja bukan untuk mencari laba. "Kalau dalam istilah saya guru bekerja atas dasar G-spot based profession. G-spot di sini bukan bagian dari alat reproduksi wanita," kata Parto.

Istilah G-spot, kata dia, berasal dari God-spot yang ditemukan oleh Dr Vilayanur Ramachandran dari Universitas California, yang berarti titik kesadaran manusia atas Tuhannya. "Berdasarkan itu, guru bekerja atas nilai dasar rasa keikhlasan dan kasih sayang dengan tujuan mengubah perilaku seseorang," ungkapnya.

Perubahan perilaku seseorang, lanjut dia, hanya bisa dilakukan secara optimal lewat kasih sayang. "Jadi tak perlu heran kalau ada fenomena guru yang mau mengajar walau tak dibayar," katanya.

Tetapi dalam perkembangannya, lingkungan tidak bisa membatasi profesi guru sehingga banyak yang salah kamar dengan segala plus minusnya. Misalnya, jika guru yang dominan daya ototnya, maka dia akan menjadi guru yang cenderung memberi hukuman fisik bagi siswa.

Bahayanya, jika golongan thought-based profession menyusup menjadi guru. Golongan ini lebih menekankan pada olah pikir dan adu argumentasi. Tujuan jangka pendeknya adalah mempengaruhi pola pikir orang lain agar sejalan dengannya dengan target jangka panjang menguasai orang lain. "Kalau ini menyusup menyusup jadi guru, bahayanya mereka bisa jadi provokator. Hobinya jualan "kompor" untuk guru-guru lainnya," ucapnya. (hap/ziz)

Jumat, 22 Februari 2008

RAWAN TIDAKLULUS MASIH TINGGI

Tinggi, Tak Lulus SMP-SMA

Angka rawan tak lulus ujian nasional (UN) SMA dan SMP Kota Malang cukup tinggi. Dari pemetaan sementara yang dilakukan Diknas Kota Malang, angka rawan tak lulus UN SMP mencapai 54,84 persen dari total nominasi sementara (DNS) UN SMP 10.786 siswa. Sementara angka rawan untuk tingkat SMA lebih tinggi lagi karena mencapai 64,76 persen dari total DNS 6.330 siswa.

Kasi Dikmen Diknas Kota Malang Drs Suyitno mengatakan, pemetaan sementara itu didasarkan pada data-data siswa kelas akhir di semua sekolah. Termasuk, hasil try out sementara. "Dibanding tahun lalu, angka rawan itu sangat tinggi," kata dia.

Suyitno menjelaskan, dari analisa sementara juga, tingginya angka rawan itu disebabkan karena adanya mata pelajaran tambahan. Untuk SMP misalnya, yang semula hanya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, kini ada tambahan IPA. Begitu juga untuk SMA yang mendapat tambahan tiga mata pelajaran untuk masing-masing jurusan. "Kondisi ini, bisa saja karena siswa kurang persiapan matang. Di lain hal, mata pelajaran tambahan juga cukup berat," ucapnya.

Bahkan, jika dipukul rata, lanjut Yitno-sapaan akrab Suyitno, tingkatan angka rawan itu terdapat di mata pelajaran (mapel) yang sama. Urutan paling atas adalah fisika, kedua matematika, disusul kimia, bahasa Inggris, dan biologi. Sedangkan Bahasa Indonesia nyaris tak ada kendala. Sebagai contoh, hasil try out di SMAN I, fisika menjadi mapel terberat karena banyak siswa tak memenuhi angka minimal 5,25. Begitu juga di SMAN 12. Bahkan, perbandingan angka tak lulus di bidang fisika dan matematika mencapai 32:22.

"Pemetaan sementara ini menunjukkan, bahwa semua sekolah harus mempersiapkan diri lebih ekstra," kata dia.

Diknas sendiri, kata Yitno, telah menyampaikan hasil pemetaan tersebut ke semua sekolah. Dengan begitu, sekolah-sekolah bisa mengadakan pembinaan lebih awal karena potensi siswa telah tergambar. Termasuk, bisa melakukan bimbingan lebih intensif. Sedangkan bagi MKKS (musyawarah kerja kepala sekolah) harus membuat format try out UN kedua untuk melihat keberhasilan usaha sekolah.

"Try out bersama dijadwalkan tiga kali. Sedangkan langkah sekolah diserahkan ke masing-masing lembaga," tandasnya.

Sementara itu, dari prediksi yang terpantau di SMA Negeri 9 Malang didapat sekit 102 anak yang rawan tidak lulus.

Selasa, 19 Februari 2008

Kontrasepsi dalam Sex 4’Strong


MALANG - Bagi perupa, seni itu universal. Termasuk ketika mereka mengeksplorasi tentang seks. Seperti seni instalasi karya Sasongko berjudul Sex 4’Strong yang dipamerkan di Perpustakaan Kota Malang kemarin.

Sasongko sengaja menata sepuluh kondom dalam sebuah bingkai. Sekilas foto itu tak terlihat sebagai eksploitasi terhadap alat kontrasepsi. Namun, murni sebagai ekspresi seni.

"Selama ini banyak orang menganggap seks itu sebagai sesuatu tabu. Padahal juga bisa dinikmati dari sisi seninya," ujarnya di sela-sela Pameran Tunggal Seni Fotografi itu.

Karya Sasongko tidak hanya berupa foto namun juga lukisan. Dan, yang dipajang berjajar di dinding itu akan dipamerkan sampai 22 Februari nanti.

Kurator seni rupa Djuli Djatiprambudi yang hadir saat acara mengatakan, dalam lima tahun terakhir ini dunia seni rupa di Jatim memang diwarnai banyak kejutan. Di antaranya dengan munculnya perupa generasi muda yang memiliki cara pandang baru metodologi, dan, ideologi dalam konteks eksplorasi seni rupa. Nah, salah satu perupa itu adalah Sasongko.

Penilaian Djuli, dalam konteks pameran ini Sasongko ingin melawan kuasa struktur. Artinya, figur yang memilih jalur kurang lazim sebagai strategi melawan struktur. "Ketika perupa lain masih berada dalam gravitasi kanvas, dia malah berusaha keluar dari garis orbit kanvas. Sasongko agaknya ingin masuk pada wilayah perdebatan apa itu seni," katanya.

Walau begitu, nilai plus juga diberikan Djuli untuk karya-karya Sasongko ini. Bagaimana pun karya Sasongko menjadi tantangan untuk melihat kembali keyakinan sebuah seni. Misalnya, kalau selama ini orang telanjur percaya bahwa seni itu soal harmoni antarsumber pembentuknya maka di sinilah akar masalahnya.

"Seni itu tak sebatas soal gagasan dan emosi. Dari sini kami sebenarnya juga mendapatkan tantangan lagi untuk mempertarungkan," katanya.

Dia mengakui, belakangan ini seni memang menarik untuk diperbincangkan. Lebih menarik lagi, seni tak hanya didominasi objek semata namun juga diselingi dengan sejumlah perdebatan. Bahkan bobot berdepatannya, sampai sejauh ini bisa membuat persepsi orang berantakan akibat provokasi yang terus menerus.

"Kemunculan Sasongko setidaknya menerbitkan harapan kalau dunia seni rupa di Jatim tidak terkesan jalan di tempat. Sasongko dapat dipahami sebagai salah satu figur generasi muda baru yang memiliki keinginan kuat untuk membangun orbit lain," ungkapnya. (hap/ing)

Masih Keberatan 24 Jam Mengajar

Rabu, 20 Feb 2008
Masih Keberatan 24 Jam Mengajar

MALANG - Kendati format 24 jam mengajar dalam satu minggu telah dijabarkan secara gamblang oleh salah satu tim penyusun sertifikasi dari UM, namun tanggapan kontra terus mengalir. Kali ini giliran Forum Komunikasi (Fokus) Guru Kota Malang yang angkat bicara. Fokus Guru menilai, aturan 24 jam itu tetap memberatkan karena diukur dari tatap muka.

Ketua Fokus Guru Kota Malang Gogok Rahmad Basuki menjelaskan, tugas guru tidak hanya tata muka di kelas saja. Tapi, juga mendidik, membina di luar kelas, koreksi soal, sampai menyusun persiapan mengajar. "Kami merasa keberatan jika dalam satu minggu 24 jam tatap muka. Ukuran 18 jam kami nilai sangat ideal, karena banyak tugas di luar jam tatap muka," kata dia.

Secara detail, Gogok kembali menegaskan bahwa tugas guru bukanlah sekadar transfer ilmu saja. Jika dipaksakan, maka masyarakat akan menghujat guru dan sekolah jika ternyata banyak siswa nakal. Berbeda dengan lingkungan perguruan tinggi, dalam hal ini dosen. Tanpa terjun langsung ke kelas dan kegiatan mahasiswa, semua bisa diatasi dengan bantuan asisten dosen. "Sekali lagi, menurut saya sangat sederhana jika menilai tugas guru dengan ukuran 24 tatap muka di kelas," tandasnya.

Terlebih, jika dikaitkan dengan jadwal ujian nasional (UN) yang semakin dekat. Jika semua guru hanya bertugas di dalam kelas saja, maka tidak akan ada yang bisa mendampingi siswa. Terutama persiapan mental mereka.

Gogok menegaskan, disinilah peran guru sesungguhnya. Yakni, mendampingi di luar kelas dengan cara memantau perkembangan anak didik. Misalnya, dengan mengadakan visite atau kunjungan pada siswa yang mengalami kesulitan belajar. "Aturan 24 jam mengajar bagi guru ini harus dicermati kembali," ujar salah satu guru yang lolos sertifikasi kuota 2007 itu.

Lebih lanjut, aturan tersebut bukan hanya berdampak pada minimnya penanganan psikologis siswa, tapi akan merembet ke masalah lain. Salah satunya menggeser jatah guru tidak tetap (GTT) yang honornya bergantung pada jumlah jam mengajar. "Tugas guru sangat berbeda dengan pegawai administrasi atau dosen," kata Gogok.

Gogok mengimbau agar tidak terjadi kasus kesalahpahaman seperti ini. Akan lebih baik jika dalam setiap kebijakan pendidikan dasar, menengah, melibatkan guru. Dengan begitu, setiap kebijakan bisa menjiwai tugas dan perjuangan guru dan tidak hanya didasarkan pada perhitungan rasional. "Kata kuncinya di sini, guru bukanlah tukang mengajar, tapi pemikir sekaligus pejuang," ucapnya. (nen/ziz)
Dari Jawapos Radar Malang oleh smanawa1@yahoo.com