Minggu, 09 Desember 2007

Gending "Java" di Bulan .......

PADA bulan Agustus atau September 28 tahun lampau, irama yang mengiringi
lirik-lirik gending Jawa berjudul Ketawang Puspawarna di atas mengalun nun jauh
di angkasa raya. Dari dalam kabin wahana ruang angkasa Voyager yang diluncurkan
tahun 1977, komposisi gending Ketawang Puspawarna mengumandang bersama 26
komposisi musik dunia terpilih dari berbagai negara.
Pencipta gending berirama rancak itu adalah seniman Jawa keturunan ningrat,
Kanjeng Gusti Pengeran Adipati Aria (KGPAA) Mangkunegoro IV. Ia adalah raja ke-4
dinasti Mangkunegaran, bertahta tahun 1853-1881.

Ketawang Puspawarna yang direkam pada piringan tembaga berlapis emas
merupakan satu-satunya komposisi musik khas Indonesia yang diterbangkan wahana
Voyager ke luar angkasa. Orang yang berjasa memilih komposisi gending Ketawang
Puspawarna untuk misi Voyager ini adalah pakar musik dunia asal AS, Prof. Robert E. Brown, kini bermukim di Gianyar, Bali.

Bukan satu kebetulan kalau Brown memilih komposisi gending Ketawang
Puspawarna dan memboyongnya ke luar angkasa. Saat mengangkasakan gending ini,
guru besar Wesleyan University (AS) ini mungkin tak menaruh perhatian pada makna
kata "tawang". Tawang yang berasal dari bahasa Jawa, sama dengan kata "angkasa"
dalam bahasa Indonesia ("ke tawang" sama artinya dengan "ke angkasa").
Pertimbangan pakar musik dunia itu memilih Ketawang Puspawarna berdasar pada
keindahan dan komposisi gending yang tak terlampau panjang.

Gending Ketawang Puspawarna terdiri dari tujuh "cakepan" (bait) "gerongan"
(lirik lagu). Cuma perlu waktu lima menit untuk melantunkan setiap cakepan
gerongan. Komposisi yang relatif pendek dibanding komposisi gending Jawa
lain yang bisa sampai 20 menitan.

Dalam tradisi gending Jawa sendiri, sebenarnya dikenal beberapa jenis
komposisi yang memiliki watak dan irama berlainan. Kecuali komposisi gending
ketawang, komposisi gending Jawa lainnya adalah gending lancaran, gending
ladrang, dan gending ageng.

Sekilas, perbedaan komposisi gending tersebut dapat disimak pada susunan
notasinya. Komposisi gending lancaran, misalnya, termasuk dalam gending paling
sederhana. Susunan notasinya hanya terdiri dari 4 X 4 sebanyak tiga sampai lima
baris tanpa variasi.

Komposisi gending ladrang biasanya terdiri dari delapan baris dan ada yang
disusun dalam 12 baris masing-masing 2 X 4. Pada komposisi delapan baris, irama
gending ladrang dibagi menjadi dua bagian dengan empat baris kedua disebut
"ngelik".

Berbeda dengan gending ladrang, komposisi gending ketawang pada umumnya
tersusun dalam delapan baris 2 X 4, dengan enam baris terakhir adalah "ngelik".
Sedangkan komposisi yang disebut gending ageng, adalah perpaduan harmonis antara
gending lancaran, ladrang, ketawang, dan semacamnya, dengan variasi irama yang
disebut "ciblon".

Pemilahan nada setiap gending dalam seni karawitan Jawa tersebut, lebih
ditentukan berdasarkan "laras"-nya. Perangkat gamelan yang diatonis sebagai
pengiring gending-gending Jawa hanya terdiri dari dua "laras": laras salendro
yang mewakili nada rendah dan laras pelog untuk nada tinggi. Komposisi gending
Ketawang Puspawarna yang dibawa dalam misi Voyager termasuk laras salendro dan
direkam dari pagelaran Empu Karawitan asal Yogyakarta, Ki Tjokrowasito.

**

MENCERMATI karya-karya KGPAA Mangkunegoro IV yang berupa gending dan tembang,
orang akan terpesona bukan hanya pada keindahan kata-katanya dan harmoni alunan
nadanya. Setiap karya pemegang tahta Istana Mangkunegaran itu lebih banyak
menyiratkan nuansa sanjungan, teladan, petuah, dan juga sindiran, maupun
ungkapan-ungkapan sastra yang bermuatan filsafat Jawa.

Sebagai seorang raja dan sastrawan terkemuka, Sri Mangkunegoro IV memiliki
kelebihan dalam menciptakan karya tembang dengan rangkaian bahasa adiluhung.
Selain karya-karyanya yang mencakup berbagai aspek kehidupan, sastrawan istana
itu juga menulis cerita-cerita babad, pedalangan, karawitan, dan tembang Jawa.
Raja itu pula yang menciptakan sebuah karya seni monumental semacam opera Jawa
yang disebut "Langendriyan", serta mendorong pengembangan kesenian rakyat
"kethoprak".

Ajaran moral dan filsafat karya KGPAA Mangkunegoro IV yang berupa tembang,
banyak dijadikan pedoman bagi masyarakat Jawa. Di antara karyanya yang populer,
dibukukan dengan judul "Serat Tripama" (Tiga Teladan) dan "Wedhatama" (Ajaran
Keutamaan). Di samping itu, karya-karya berupa tembang terhimpun dalam "Serat
Sekar-sekaran", serta karya sastra lainnya adalah "Salokatama" (Amsal Keutamaan)
dan "Kitiran Mancawarna" (Baling-baling Beranekawarna).

Sesuai dengan judul gendingnya, setiap "cakepan gerongan" Ketawang Puspawarna
yang berjumlah tujuh "cakepan", semuanya diawali dengan kata "kembang". Baris
pertama dan baris kedua setiap "cakepan" yang terdiri dari tiga baris, disebut
sebagai "wangsalan" semacam pantun. Puspa dan kembang yang termaktub dalam
Ketawang Puspawarna, adalah personifikasi seorang wanita --yang mungkin menjadi
dambaan sang raja. Sri Mangkunegoro IV, melalui "wangsalan" yang estetis
tersebut bermaksud menyanjung tingkah laku wanita yang menghanyutkan jiwa, sifat
kewanitaannya yang bagai mustika, senyum dan gaya bicaranya yang menawan hati,
dan harapan untuk mempersuntingnya.

Gending Ketawang Puspawarna, meskipun tidak terlampau panjang memang memiliki
kelebihan pada nada-nada irama yang sedemikian indah dan kandungan makna
liriknya yang sangat menawan. Seandainya di angkasa raya ada makhluk hidup yang
dapat menangkap alunan gending Ketawang Puspawarna, niscaya mereka akan hanyut
oleh pesona irama yang menggoda jiwa itu.***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Nuwun sewu pak guru....dherek ngeyup wonten dalm Blog-pun. Sampun ngupoyo dhateng pundi panggen kok nembe puniko kepanggih. Makaten bentenipun lancaran, ladrang, ketawang. Manawi wonten seratan sanesipun, nyuwun dipun keparengaken ndherek "nyinaoni". Makaten Pak Guru, mugi datan awrat pitepangan ingkang sepindah puniko. Salam taklim Gunawan-Semarang